PEMAJUAN KEBUDAYAAN KOTA PALU

Translate

Sabtu, 28 Agustus 2021

PENGETAHUAN TRADISIONAL POTENSI REMPAH DAN OBAT TRADISIONAL SUKU KAILI


 
PENGETAHUAN TRADISIONAL

POTENSI REMPAH DAN OBAT TRADISIONAL SUKU KAILI

 

Oleh : Ardiansyah Dwi Putra

 

PENDAHULUAN


Dalam Portal Informasi Indonesia yang diterbitkan oleh INDONESIA.GO.ID, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010. Pembagian kelompok suku di Indonesia tidak mutlak dan tidak jelas, hal ini akibat dari perpindahan penduduk, pencampuran budaya, dan saling mempengaruhi.

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang dihuni oleh berbagai macam etnis baik yang bersifat migran ataupun yang merupakan masyarakat asli. Berdasarkan data yang ada tercatat sebanyak 19 suku asli yang populasinya cukup besar, diantaranya adalah Suku Kaili terutama tinggal di wilayah kabupaten Parigi Moutong, Donggala, Sigi dan kota Palu (Pitopang dan Ramawangsa, 2016).

Dalam Data Penelitian Komunitas Adat Dan Budaya Ulujadi Kota Palu Sulawesi Tengah, ada versi cerita (tutura) masyarakat Kaili (To Kaili), yang mendefinisikan kata Kaili berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Dalam Sejarah Lisan Suku Kaili, dikisahkan pada zaman dahulu tepi pantai letaknya berada di Desa Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan juga dituturkan bahwa ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut. Wilayah Desa Bangga saat sekarang ini adalah merupakan wilayah di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.

Versi Tutura Suku Kaili atau Etnik Kaili juga menyebutkan bahwa Suku Kaili memiliki rumpun etnik yang beragam. Untuk penyebutannya, Suku Kaili disebut Etnik Kaili, sementara rumpun Suku Kaili lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun Kaili Rai, rumpun Kaili Ledo, rumpun Kaili Ija, rumpun Kaili Moma, rumpun Kaili Da'a, rumpun Kaili Unde, rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun kaili bare'e, rumpun kaili doi, rumpun Kaili Ende (rumpun Kaili tertua yang sudah tidak dapat diidentifikasi) dan lain sebagainya.

Salah satu sumber bahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan fungsional Indonesia adalah tanaman rempah dan obat tradisional. Tanaman rempah merupakan jenis tanaman yang bersifat aromatik disebabkan kandungan senyawa fitokimia didalamnya, dan banyak digunakan dalam makanan sebagai pemberi cita rasa, atau sebagai bumbu masakan, pengharum dan pengawet makanan. Tanaman rempah telah dikenal memiliki beragam khasiat bagi kesehatan seperti tanaman jahe, kencur, kunyit, temulawak, kapulaga dan lainnya. Sedangkan tanaman obat, merupakan jenis tanaman yang memiliki khasiat untuk kesehatan tubuh dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Beragam jenis tanaman obat telah dikenal masyarakat Indonseia seperti tanaman sambiloto, mahkota dewa, mengkudu, kumis kucing dan lainnya (Hakim, 2015).

Tanaman rempah dan obat tradisional telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu alternatif bahan campuran makanan atau untuk menyembuhkan dan mencegah munculnya berbagai penyakit. Kandungan senyawa fitokimia di dalam bahan rempah dan obat tradisional disebut sebagai senyawa yang berperan dalam aktivitasnya yang bermanfaat bagi kesehatan manusia (Irmanida B, Prastya ME. 2020).

Suku Kaili memiliki kearifan lokal yang sangat beragam, khususnya tanaman rempah  dimanfaatkan sebagai bahan bumbu makanan dan minuman (kuliner khas Suku Kaili) atau sebagai bahan untuk obat tradisional. Yang sangat fenomenal adalah pada Suku Kaili ada satu ritus yang telah menjadi warisan budaya Indonesia yang sangat berhubungan sekali dengan penggunaan rempah sebagai obat tradisional yaitu Balia (Ritual Pengobatan).

POTENSI REMPAH SUKU KAILI

Masyarakat Suku kaili yang mendiami sebagian besar wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah, memanfaatkan rempah secara tradisional sebagai bahan makanan, obat tradisional, kosmetik, tanaman hias, pewarna makanan, pewangi dan ritual adat. Pemanfaatan rempah dalam kehidupan masyarakat Suku Kaili merupakan bentuk warisan ilmu pengetahuan dan bukti peradaban masyarakat Suku Kaili secara turun temurun (warisan budaya). Telah sangat banyak penelitian mengenai hal ini, bahkan banyak sekali ditemukan jenis-jenis rempah beserta peruntukannya.

Masyarakat adat yang bermukim di Sulawesi Tengah masih memiliki kepercayaan yang bersifat magis, dimana masyarakat ini masih melakukan ritual-ritual seperti ritual pengobatan, ritual kematian, ritual pernikahan, ritual kelahiran, adat mendirikan rumah, dan ritual syukuran. Dalam ritual-ritual tersebut, kelompok masyarakat tersebut menggunakan tumbuhan sebagai bahan perlengkapan dalam prosesi ritual adat tersebut (Pitopang dan Ramawangsa, 2016).

Ritual Balia (pengobatan tradisional) dalam masyarakat Suku Kaili menggunakan rempah sebagai syarat adat yang dinamakan sambulu dan obat tradisional. sambulu adalah lima jenis rempah yang wajib ada dalam setiap ritus Suku Kaili yang terdiri atas gambir, buah sirih, buah pinang, kapur sirih, tembakau kering. Sementara rempah yang digunakan sebagai bahan obat untuk minyak gosok, dan wewangian (aroma terapi) (Data Penelitian Komunitas Adat Dan Budaya Ulujadi Kota Palu Sulawesi Tengah).

Jenis rempah-rempah untuk menambah cita rasa pada masakan (kuliner khas Suku Kaili). Beberapa diantaranya adalah tomat, bawang merah, bawang putih yang digunakan untuk menumis sayur, jahe digunakan dalam pembuatan saraba, cabe merupakan pelengkap semua masakan agar memberikan cita rasa lebih pedas terutama masakan yang berkuah kental seperti kari, coto dan ikan masak (Murahmi dkk, 2015). Jenis rempah yang dipakai Suku Kaili sebagai bumbu adalah asam (poi), jeruk nipis (lemo), tomat (parancina), cabe/rica (marisa), belimbing (sanggulera), jerut purut (lemo njusu), kunyit (kuni), bawang merah (pia lei), lengkuas (balintua), kencur (sikuri), jahe (goraka), rica jawa (marisa jawa), cengkeh (cingke).

Bahkan dalam Sektor Perdagangan, rempah menjadi komoditi unggulan dari Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam informasi yang bersumber dari website resmi Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian Dan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Kepala Sub Bagian Pengembangan Sumber Daya Alam pada Biro Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Sulteng, Fadli, SE, MM, mengungkapkan “Situasi ketersediaan komoditas pangan strategis di Sulawesi Tengah pada tahun 2018 atau kondisi sebelum terjadinya bencana pada September 2018 masih mengalami surplus untuk komoditas beras, jagung, bawang, kakao, kopi, daging dan telur. Berdasarkan data Balai Karantina Pertanian Kelas II Palu, terdapat 5 (lima) komoditas pertanian yang tercatat mengalami peningkatan ekspor secara signifikan yakni kakao biji sebanyak 2.000 ton, kelapa parut 1.220 ton, kelapa bulat 336 ton, minyak kelapa kategori VCO 55 ton, dan minyak kelapa CO sebanyak 15 ton. Selain 5 (lima) komoditi, semua komoditas di Sulteng mengalami kenaikan ekspor pada periode pertama 2020,”.

Dalam data tutura Suku Kaili yang berhubungan dengan rempah, rempah sangat identik dengan kebudayaan masyarakat adat Suku Kaili. Pemanfaatan tanaman rempah menjadi bukti warisan budaya ilmu pertanian yang selalu diceritakan oleh masyarakat Suku Kaili di Kota Palu, tentang ketokohan Pue Njidi dan karomahnya dalam ilmu pertanian yaitu menanam rica (cabe) pada pagi hari dan sudah panen pada sore harinya (Sumber cerita : Komunitas Adat Dan Budaya Ulujadi Kota Palu Sulawesi Tengah).

Data dan informasi ini membuktikan bahwa potensi rempah di Sulawesi Tengah sangat berkaitan dengan kearifan lokal Suku Kaili. Tentu saja dalam hal warisan budaya, ilmu pengetahuan tentang pengobatan, pertanian dan perkebunan. Potensi Rempah bagi masyarakat Suku Kaili, jika melihat dari potensi pemanfaatan rempah dalam sektor perdagangan sangatlah mungkin menjadi cerita tersendiri dalam sejarah jalur rempah di Sulawesi Tengah. Karena cerita tentang potensi rempah di Sulawesi tengah, khususnya masyarakat Suku Kaili secara turun temurun sudah ada dan dibuktikan dengan keberadaan ritual-ritual yang menempatkan rempah sebagai syarat utama (sambulu) dan juga rempah menjadi bahan obat tradisional Suku kaili secara turun temurun (warisan budaya).

OBAT TRADISIONAL SUKU KAILI

Beberapa jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat Kaili di desa Binangga Kabupaten Parigi Moutong, diantaranya : “sifulumboa” (Blumea lacera) yang digunakan sebagai obat demam. Sedangkan untuk obat penyakit diabetes (sakit gula) digunakan kulit kayu dari “kayu jawa” (Lannea grandis), daun kayu hitam eboni “toe” (Diospiros celebica), daun tapak dara “picah piring” (Catharanthus roseus) dan kebiul “bakiak” (Caesalpinia bonduc). Obat sakit pinggang akar dari meniran hijau “panuntu” (Phyllanthus niruri), kucing galak “akar kucing” (Acalypha indica), pulutan “akar lelupa” (Urena lobata), patikan kebo “mantalalu” (Euphorbia hirta), “kumis kucing” (Orthosiphon stamineus), jeruk nipis “lemo baranga” (Citrus aurantifolia), “keji beling” (Strobilanthes crispus). (Zulfiani, dkk. 2013).

 Ringkasan Tabel Tumbuhan Obat yang Digunakan dan penyakit yang diobati. Masing-masing jenis tumbuhan obat yang digunakan dengan penyakit yang diobati oleh masyarakat Suku kaili di Kecamatan Kinovaro Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah, berdasarkan tabel yang dijabarkan secara singkat sebagai berikut : penyakit gagal ginjal (daun akar kucing, herba patikan kebo, daun keji beling, daun ciplukan), luka ringan (getah sig-sag, getah jarak pagar, getah kayulana), hepatitis (daun bintaro, daun senggugu, daun pecut kuda), wasir ambeyen (daun jarak hutan), sakit perut (daun jarak hutan, daun baru cina, daun gandasuli, daun ntoli, batang kayu jawa), luka (daun sembung, daun ketumbar), penambah daya tahan tubuh (herba daun dewa, daun ungu, daun senggugu, daun sisirihan, buah kayusimpoer), kurang nafsu makan (daun akar kucing, daun meniran), kencing manis (bunga matahari, daun gula, daun sukun, daun sisirihan, daun paku layangan), malaria (daun sambiloto, daun kumis kucing), sakit gigi (daun panosi), hipertensi (daun saga, pucuk daun cokelat, daun tembelekan, daun sirsak, akar amplas kucing, daun aur-aur), bisul (daun picah, daun siumpuva, daun pagagan, daun cocor bebek), panu (daun ketepeng cina), haid tidak lancar (daun muguntumpa), pencegah diabetes (daun senggugu), demam (daun hyptis, daun silanduri), influenza (daun mayana), kanker (daun gedi, daun tapak darah, batang kamboja, daun serikaya, daun kayurusa, biji kelor), sengatan/gigitan hewan berbisa (daun sidagurih), lemah syahwat (pucuk daun awar-awar), batuk (daun bayam duri), pembersih plasenta dalam perut (daun sasonggi), maag akut (biji kunyit), bekas jerawat (biji gandasuli), sakit kepala (daun Ntolosu, pucuk daun jambu biji dan daun lonjatonji), usus turun (hernia) (daun katitilu), maag (buah permot), encok (daun andong), memulihkan tenaga pasca melahirkan (akar kelapa merah, daun sivaru, buah mengkudu), patah tulang (daun mengkudu), liver (daun paku layangan), mata katarak (daun sirih hutan), memperkuat gigi (buah sirih hutan), sesak (asma) (buah sirih hutan) (Muthmainnah, 2018).

Berbagai jenis tumbuhan obat tradisional tersebut merupakan bentuk pengetahuan tradisional masyarakat Suku Kaili. Bagi masyarakat Suku Kaili keberadaan tumbuhan obat tradisional tidak terlepas dari tradisi lisan (tutura) Suku Kaili dan keberadaan praktisi tradisi pengobatan tradisional Suku Kaili yang sampai saat ini masih ada.

Dalam draft obat tradisional Suku kaili yang ditulis olah Budayawan Kota Palu Herman Wahid, S.Sos Tahun 2021, dijabarkan 5 obat tradisional sebagai berikut :

1.      Ramuan Menstabilkan Imun

Dalam pembuatan obat tradisional ini diperlukan bahan berupa serei, jahe merah, kayu manis, gula merah, cengkeh dan garam. Pertama-tama jahe merah dibakar dan dicuci bersih. Kemudian serei, jahe merah, kayu manis, gula merah dan cengkeh direbus dalam belanga. Setelah mendidih lalu air rebusan di saring ke dalam gelas, tunggu sampai hangat dan siap untuk di minum.

2.      Pengobatan Psikis (Aroma Terapi)

Dalam pembuatan obat tradisional ini diperlukan bahan berupa sikuri (kencur), bawang merah, dan kayu manis. Terlebih dahulu sikuri dan bawang merah dicuci bersih, kemudian ketiga bahan tersebut diiris halus dan dicampurkan dalam air dan ditempatkan ke dalam mangkok. Penerapan pengobatannya, air campuran kencur, bawang merah dan kayu manis di usapkan pada seluruh tubuh mulai dari kepala sampai ujung kaki diulangi sampai tiga kali.

3.      Ramuan Obat Muntah Darah

Dalam pembuatan obat tradisional ini diperlukan bahan berupa ketumbar hutan, kunyit dan garam. Dalam kebiasaan masyarakat Suku Kaili, pada saat mengambil tanaman untuk dijadikan ramuan harus didoakan (Nogane) terlebih dahulu agar mendapat berkah dari Sang Pencipta. Daun ketumbar hutan dan kunyit dicucu bersih, kemudian kedua bahan ditumbuk dalam alu batu sampai halus, setelah halus bahan dimasukkan ke dalam gelas dan disiram dengan air panas. Stetlah hangat disaring ke gelas dan masukkan garam secukupnya dan diaduk sampai rata dan siap untuk diminum.

4.      Pembersih Mulut Sekaligus Penguat Gigi

Dalam pembuatan obat tradisional ini diperlukan bahan berupa sirih, buah pinang, tembakau kering, gambir, kapur sirih. sirih, buah pinang, gambir, kapur sirih dimasukkan ke dalam alat tumbuk dan di tumbuk sampai halus. Kemudian semua bahan tersebut yang  telah di haluskan dimasukkan ke dalam mulut, lalu dikunyah dan digosok pada bagian gigi menggunakan tembakau kering beberapa kali lalu dibuang.keluar dari mulut.

5.      Ramuan Penyakit Malaria

Dalam pembuatan obat tradisional ini diperlukan bahan berupa daun pepaya, kunyit dan madu. Pembuatan ramuan ini, pertama-tama daun pepaya dan kunyit dicuci bersih, kemudian dimasukkan ke dalam alat tumbuk dan ditumbuk sampai halus. Kemudian campurkan air hangat sedikit, lalu disaring ke dalam gelas dan tambahkan sedikit madu. Kocok sampai rata, dan siap untuk diminum. 

Penutup

Dari beberapa jenis tumbuhan obat dan cara pembuatan obat tradisional Suku Kaili tersebut, dapat dilihat bahwa para pendahulu Suku Kaili mewariskan pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat, pemanfaatan rempah dan obat tradisional untuk generasi sekarang dan akan datang. Potensi rempah dan obat tradisional warisan budaya Suku Kaili adalah bentuk kekayaan bangsa Indonesia, sehingga sangat penting untuk dilestarikan dan didokumentasikan. Maka tepatlah Indonesia dikatakan pusat jalur rempah dan adi daya kebudayaan dunia.

 Sumber Referensi


Hakim L. 2015. Rempah dan Herba Kebun-Pekarangan Rumah Masyarakat: Keragaman, Sumber Fitomarka dan Wisata Kesehatan-Kebugaran. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia. Diakses pada : https://docplayer.info/32338081-Rempah-herba-kebun-pekarangan-rumah-masyarakat-luchman-hakim-keragaman-sumber-fitofarmaka-dan-wisata-kesehatan-kebugaran.html.

Wahid H. 2021. Obat Tradisional Suku Kaili. Palu. Sulawesi Tengah. Indonesia. Belum Diterbitkan.

Irmanida B, Prastya ME. 2020. Potensi Tanaman Rempah dan Obat Tradisional Indonesia Sebagai Sumber Bahan Pangan Fungsional. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal ke-8 Tahun 2020, Palembang 20 Oktober 2020 “Komoditas Sumber Pangan untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan di Era Pandemi Covid -19”. Palembang: Penerbit & Percetakan Universitas Sriwijaya (UNSRI). Diakses pada : https://www.researchgate.net/publication/347487555_Potensi_Tanaman_Rempah_dan_Obat_Tradisional_Indonesia_sebagai_Sumber_Bahan_Pangan_Fungsional.

Kini, Sulteng Punya Sistem Informasi Komoditi Unggulan. Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian Dan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. Diakses pada : https://diskominfo.sultengprov.go.id/index.php/2020/12/03/kini-sulteng-punya-sistem-informasi-komoditi-unggulan/

Data Penelitian Objek Pemajuan Kebudayaan Kota Palu. Komunitas Adat Dan Budaya Ulujadi. Kota Palu. Sulawesi Tengah.

Murahmi, A. S. Anam dan R. Pitopang. 2015. Etnobotani masyarakat Bugis di desa Lempe kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli. Sulawesi Tengah. Diakses pada : http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Biocelebes/article/view/5123/3899.

Muthmainnah SR. I. Nurlina, Hardani R. Studi Tumbuhan Berkhasiat Obat Pada Suku Kaili Da’a Kecamatan Kinovaro Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Universitas Tadulako. Palu. Sulawesi Tengah. Indonesia. Biocelebes, Agustus, 2018 Volume 12 (2). Diakses pada : http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Biocelebes/article/ view/13590.

Pitopang R. dan Ramawangsa P.A. 2016. Potensi Penelitian Etnobotani Di Sulawesi Tengah Indonesia (Potencial of Ethnobotanical Studies in Central Sulawesi Indonesia). Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako, Kampus Bumi Tadulako Palu Sulawesi Tengah. Universitas Tadulako. Palu. Sulawesi Tengah. Online Journal of Natural Science Vol 5 (2) :111-131 ISSN: 2338-0950 Agustus 2016. Diakses pada : http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/ejurnalfmipa/article/download/6699/5360

Suku Bangsa. https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa/kebudayaan/suku-bangsa. Portal Informasi Indonesia.

Zulfiani, Yuniati E., dan Pitopang R. Kajian Etnobotani Suku Kaili Tara di Desa Binangga Kecamatan Parigi Tengah Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Biocelebes, Juni 2013, hlm. 67-74 ISSN: 1978-6417 VoL. 7 No. 1. Diakses Pada : http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Biocelebes/article/view/3905/2867.


Jumat, 30 Juli 2021

Situs Cagar Budaya Makam Dato Karama

Situs Cagar Budaya Makam Dato Karama

merupakan kawasan situs makam yang terletak di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Situs makam ini oleh Pemerintah Kota Palu dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata makam tokoh bersejarah dan bukti peradaban Islam di Lembah Palu. Di Situs tersebut ditempatkan 1 orang Juru Pelihara yang bertugas untuk melakukan tugas pemeliharaan dan pemanfaatan.

Dato Karama adalah tokoh yang dituturkan oleh masyarakat adat Suku Kaili sebagai tokoh yang pertama menyebarkan ajaran Agama Islam di Sulawesi Tengah, khususnya di Lembah Palu (Sekarang Kota Palu). Kisah beliau tidak akan pernah terpisahkan dengan tutur pertemuan beliau dengan sahabat beliau yaitu Pue Njidi. 
Struktur Makam Dato Karama

Kisah tutur yang melegenda dari pertemuan dua tokoh ini adalah proses penanaman pohon rica dan pohon pisang dalam waktu sehari sudah berbuah atau bisa dipanen. Pada hakikatnya kisah ini adalah peristiwa saling berkerabatnya kedua tokoh ini dan merupakan sumber ilmu pengetahuan tentang bercocok tanam pada saat itu di Lembah Palu. Peristiwa ini diperkirakan dalam sejarah lisan masyarakat adat Suku Kaili sekitar abad ke 16.

Ardiansyah Dwi Putra, SKM
Penggiat Budaya Kota Palu
Komunitas Adat Dan Budaya Ulujadi Kota Palu

Video Eksklusif :



Minggu, 25 Juli 2021

Situs Cagar Budaya Makam Pue Mantikulore

Situs Cagar Budaya Makam Pue Mantikulore

Situs Cagar Budaya Makam Pue Mantikulore merupakan kawasan situs makam yang terletak di Kelurahan Lasoani, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Situs makam ini oleh Pemerintah Kota Palu dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata makam tokoh adat yang bersejarah di Kota Palu.

Situs Cagar Budaya Makam Pue Mantikulore oleh Pemerintah Kota Palu ditempatkan 3 orang Juru Pelihara Cagar Budaya yang bertugas untuk melakukan tugas pemeliharaan dan Pemanfaatan.

Pue Mantikulore adalah tokoh  adat yang sangat dihormati oleh masyarakat adat Suku Kaili di Lembah Palu (Sekarang Kota Palu), dikisahkan beliau adalah seseorang yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang sangat baik, sehingga di masanya beliau begitu dihormati. Beliau dikisahkan juga pernah melakukan perjalanan mengelilingi pegunungan di Lembah Palu yang terbentang dari barat sampai ke Timur Lembah Palu.

Struktur Makam Pue Mantikulore

Di Dalam Bangunan Situs Makam Pue Mantikulore terdapat 4 buah makam tua. Di dalam bangunan makam ini terdapat 2 struktur makam Tokoh Adat yang di sakralkan oleh masyarakat adat Suku kaili selain makam Pue Mantikulore, ada juga makam seorang tokoh adat yang sama disakralkan dan dihormati yaitu tokoh adat yang digelari Pue Mpoluku.


Video Eksklusif : 

Situs Cagar Budaya Makam Pue Mantikulore

Ardiansyah Dwi Putra, SKM
Penggiat Budaya Kota Palu
Komunitas Adat Dan Budaya Ulujadi Kota Palu

Sabtu, 24 Juli 2021

Situs Cagar Budaya Makam Pue Njidi

Situs Cagar Budaya Makam Pue Njidi
Situs Cagar Budaya Makam Pue Njidi merupakan kawasan situs makam yang terletak di Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu. Situs makam ini oleh Pemerintah Kota Palu dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata makam tokoh Adat dan Agama Islam yang bersejarah di Kota Palu.

Situs Cagar Budaya Makam Pue Njidi oleh Pemerintah Kota Palu ditempatkan 3 orang Juru Pelihara Cagar Budaya yang bertugas untuk melakukan tugas pemeliharaan dan Pemanfaatan.

Pue Njidi adalah seorang tokoh yang memiliki sejarah dalam masyarakat adat Suku Kaili (Notutura) adalah seorang tokoh adat Suku Kaili yang pertama kali mempelajari Agama Islam di Lembah Palu Tanah Kaili (Sekarang Kota Palu). Datu Karama adalah sahabat beliau yang datang ke Lembah Palu Tanah Kaili dengan tujuan mulia untuk menyebarkan ajaran Agama Islam. Pertemuan beliau dengan Tokoh Penyebar Agama Islam di Sulawesi Tengah yaitu Datu Karama. Pertemuan antara dua sahabat inilah yang menjadi awal masuknya ajaran Agama Islam di Lembah Palu Tanah kaili saat itu. Diperkirakan masuknya ajaran Agama Islam di Lembah Palu Tanah Kaili yang sekarang menjadi Kota Palu adalah sekitar abad ke 17.

Makam Pue Njidi (Bernisan Hijau)

Di Dalam Bangunan Situs Makam Pue Njidi terdapat 5 Buah Makam yang di tuturkan masyarakat setempat, adalah keluarga beliau. Dua Makam Tokoh Adat Suku kaili yang meupakan sahabat sekaligus pendamping beliau, dan Dua Makam yang berada di dua sisi makam Pue njidi di tuturkan namun masih dalam perkiraan masyarakat adat setempat adalah keluarga beliau.

Ardiansyah Dwi Putra, SKM
Penggiat Budaya Kota Palu
Komunitas Adat Dan Budaya Ulujadi Kota Palu

Situs Cagar Budaya Soemoer Koeloe

  Soemoer Koeloe Di Bangun Tahun 1923 Soemoer Koeloe adalah bangunan cagar budaya yang dibangun untuk perlindungan mata air pada tahun 1923....